ilmuwan di sebuah pantai pada senja hari, dia berkata kepada sobatnya itu: “Sayang sekali, anda seorang ilmuwan yang tidak dapat menikmati indahnya matahari di ujung cakrawala sana”. Jawab si ilmuwan, “Memangnya kamu melihat matahari saat ini? Yang kamu saksikan adalah matahari tadi yang sudah lewat. Hitung saja jarak antara bumi dan matahari, dan kecepatan cahaya. Jadi matahari yang kamu lihat sebenarnya sudah lewat, sedangkan yang sekarang belum kamu lihat”.
Oleh: P. Hardono Hadi, PhD
I. PERSOALAN OBJEKTIVITAS DAN SUBJEKTIVITAS DI DALAM SENI
Di dalam epistemologi, yaitu filsafat pengetahuan, persoalan utama adalah “bagaimana subjek dapat mengetahui objek sebagaimana adanya?” Pengandaian umum adalah bahwa ada jarak yang memisahkan subjek dan objek. Sementara subjek berada di sini, objek berada di sana. Di dalam filsafat modern, persoalan itu menimbulkan pemisahan yang sangat kental antara aliran empirisisme dan rasionalisme. Sementara empirisisme yakin bahwa inderalah yang menjadi sumber pengetahuan, di luar indera kita tidak mempunyai pengalaman. Jadi baginya, yang ada hanyalah pengalaman inderawi. Kalau kita menggunakan ide atau gagasan, maka ide dan gagasan itu pun bermula dari pengalaman inderawi. Kita hanya dapat mengatakan mengenai sesuatu setelah akal kita mempunya ide yang dicetak oleh pengalaman inderawi. Kalau ada pengalaman lain yang berada di luar pengalaman inderawi, maka kita tidak dapat mengatakan apa pun mengenai hal itu secara bermakna. Kaum empirisis ditokohi oleh John Locke, George Berkeley, dan David Hume.
Sejauh mana yang ditangkap oleh indera itu benar-benar sama dengan yang ada di dalam objek? Apakah yang ditangkap indera itu objektif? Bagaimana dengan tipuan-tipuan kesan yang kita alami? Mata kita melihat bahwa tongkat yang sebagiannya kita masukkan ke dalam air menjadi bengkok; rel kereta api semakin jauh semakin menyempit. Padahal kalau tongkat itu kita raba jelas tetap lurus, dan kalau kita telusuri rel kereta api itu juga tidak menyempit. Apakah kesaksian indera kita menyesatkan? Lebih seru lagi, rasa gula di lidah kita terasa manis dalam kondisi sehat, tetapi menjadi pahit kalau kita sedang sakit. Kalau begitu di manakah letak rasa manis, dalam gula atau pada lidah kita? Bahkan lebih jauh dapat ditanyakan, kalau ada sebuah pohon besar tumbang di hutan tetapi tidak ada telinga yang mendengarnya, apakah suara gemuruh terjadi atau tidak? Jadi suara gemuruh itu ada di telinga atau ada pada pohon yang roboh? Artinya, kenyataan itu berada di dalam subjek (yang mempunyai indera) ataukah di dalam objek (yang diinderai)? Dengan kata lain, pengetahuan kita itu bersifat subjektif (tergantung subjek) ataukah objektif (tergantung objeknya)?
Persoalan ini pun menjadi relevan kalau kita berbicara mengenai epistemologi seni. Di dalam ilmu-ilmu modern, objektivitas menjadi tolok ukurnya yang utama. Sesuatu pengetahuan itu dapat disebut ilmiah sejauh kebenarannya dapat dijamin secara objektif, artinya yang kita ketahui benar-benar objek, bukan “wishful thinking” kita. Kalau dikaitkan dengan seni, apakah objektivitas juga menjadi hal yang penting di dalamnya? Atau justru sebaliknya? Apakah seni benar-benar merupakan hal yang seutuhnya bersifat subjektif? Ada ungkapan yang mengatakan: “Beauty lies in the eyes of the beholder”, yang artinya keindahan berada di mata orang yang melihatnya. Benarkah demikian? Kalau seni seutuhnya bersifat objektif, tentu menimbulkan gugatan sejauh manakah pendidikan seni menjadi relevan? Bukankah untuk mengembangkan rasa atau sentuhan artistik, orang perlu memahami norma-norma objektif yang mendasarinya?
Sebagaimana umum diketahui, filsafat sering kali memperumit permasalahan yang oleh orang lain dianggap sederhana. Di situlah kebajikan filsafat, yaitu merefleksikan pengalaman hingga tuntas sampai pada hal-hal yang hakiki. “Hidup yang tidak direfleksikan, tidak layak untuk dijalani”, kata Socrates, kakeknya filsafat Barat. Tetapi awal dari refleksi adalah pertanyaan. Pertanyaan merupakan rumah dari keberadaan manusia, kata Heidegger. Pertanyaan dimaksudkan untuk mengejar jawaban. Tetapi biasanya jawaban tidak sesubur pertanyaan yang dimunculkannya. Dengan demikian, hal itu sering kali membuat orang tidak tahan di dalam kegelisahan eksistensial. “Begitu saja kok dipersoalkan”, kata orang yang kapok untuk bertanya, karena sudah nyaman dengan kesesatannya.
Maka pada kesempatan ini, meskipun mungkin kita tidak sampai tuntas pada jawabannya, kita akan mencoba mengangkat pertanyaan-pertanyaan terkait dengan epistemologi seni. Semoga kalau hal ini tidak menambah wawasan, sekurang-kurangnya menyadarkan akan pertanyaan dan persoalan yang sebenarnya menggelayuti permasalahan seni.
Kamis, 22 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar